Di sebuah gedung yang gelap dan kotor bernama Kepastoran St. Peter, para pastor dan frater yang tersisa di Kota Dresden, Jerman sedang menggelar pertemuan untuk mengirim dua orang misionaris ke daerah terpencil di Perancis untuk membantu para warga sipil setempat yang terjebak dalam kekacauannya Perang Dunia Kedua di Perancis.
“Siapakah yang bersedia untuk ditugaskan di Perancis?”, kata sang pimpinan pastor dalam pertemuan tersebut. Semua pastor dan frater saling berdiskusi sampai salah satu pastor bersama seorang frater mengacungkan tangan ke atas. “Saya dan murid saya, Frater Pius, bersedia untuk ditugaskan di Perancis”, kata Pastor Johann dengan tegas. Sang pemimpin menanyakan lagi untuk memastikan dan pastor tersebut tetap bersedia. Maka keputusan sudah bulat, Pastor Johann dan Frater Pius akan dikirim ke Perancis.
Keesokan harinya, mereka berdua menyiapkan pakaian dan barang-barang yang akan dibawa seperti Alkitab dan jubah. Mereka lalu berangkat dengan berjalan kaki sampai ke perbatasan kota. Mereka meminta tumpangan dari tentara Jerman yang akan pergi ke Kota Paris, Perancis. Dibutuhkan waktu 3 jam untuk sampai di Kota Paris dengan menggunakan truk. Sesampainya di Paris, mereka memutuskan untuk berjalan kaki dari Paris ke sebuah desa di daerah Île-de-France.
Ketika sampai disana, pemandangan yang kurang menyenangkan terlihat. Para tentara Jerman sedang menjarah desa tersebut. Mereka mengambil makanan dan harta yang dimiliki oleh penduduk dan juga membawa beberapa saudara mereka untuk dibawa ke kamp konsentrasi.
“Apa yang kalian lakukan? Kembalikan barang-barang itu! Apa kalian tidak lihat mereka tidak mempunyai banyak barang yang dimiliki dan kalian hanya merampasnya begitu saja? Mereka hanya masyarakat kecil!”, tegur Pastor Johann kepada para tentara.
“Kau kira siapakah kamu ini? Kau bukan siapa-siapa dari kami, sana pergi sebelum kami menembak kalian berdua! Lagipula, perang memang begitu, mengambil segalanya yang dimiliki, kau harus menerimanya teman!”, balas salah satu tentara dengan wajah sinis.
Pastor Johann dan Frater Pius memutuskan untuk menghubungi markas kepastoran mereka di Dresden dengan menggunakan telepon umum. Frater Pius menghubungi kepastoran sedangkan Pastor Pius sedang bertanya-tanya kepada warga sekitar tentang berita-berita yang terjadi di Paris.
Setelah menghubungi kepastoran untuk mendapatkan berita, mereka memutuskan untuk kembali ke desa untuk memeriksa keadaan desa tersebut. Sesampai di desa, mereka menemukan bahwa beberapa penduduk telah tewas ditembak di tengah-tengah desa. Beberapa dari mereka menangis dan marah akibat kejadian tersebut. Sekarang mereka tidak mempunyai apa-apa lagi selain rumah yang mereka tempati, itu pun akan disita oleh pemerintah Jerman untuk dijadikan markas.
“Berhentilah bersedih, ini semua sudah direncanakan oleh Tuhan. Tuhan mempunyai jalannya sendiri yang telah disiapkan untuk kalian semua. Berdoalah, itu akan membantu meredakan rasa sakit di hatimu”, kata Pastor Johann kepada salah satu penduduk sambil memberikan sebuah Rosario.
Setelah bernegosiasi dengan penduduk, mereka dipersilahkan untuk tinggal di desa tersebut.
Ketika sedang mendengarkan radio, Frater Pius mendengar berita bahwa ada sebuah organisasi bernama Forces Françaises Libres (Pasukan Perancis Bebas) yang dipimpin oleh Jendral Charles de Gaulle. Frater Pius berpikir kemungkinan besar jika para warga ini diungsikan bersama dengan pasukan tersebut, mereka akan lebih aman dari kejahatan pasukan Jerman. Frater segera mencari pastor untuk memberitahu mengenai idenya tersebut. Setelah berdiskusi, pastor setuju dengan ide tersebut dan segera bernegosiasi dengan kepala desa di desa tersebut. Kepala desa setuju dengan hal tersebut dan menyuruh semua warganya untuk mengemasi barang-barang mereka untuk pergi.
Untuk mengisi waktu luang, setiap malam Pastor Johann dan Frater Pius menggelar rekoleksi dan pendalaman kitab suci bersama para warga yang ingin mengikuti. Setelah beberapa hari mengemas barang-barang, 3 truk Opel didatangkan untuk mengangkut barang-barang tersebut bersama para warga. Evakuasi desa berjalan dengan lancar. Mereka semua sampai ke daerah Pasukan Perancis Bebas dengan selamat.
Akibat kejadian perampasan yang terjadi sebelumnya di desa, Pastor Johann dan Frater Pius berbicara dalam sebuah acara di radio nasional milik pemerintah Perancis mengenai perlawanan mereka terhadap aksi tersebut.
Kata-kata mereka terdengar oleh Letkol. Paul Libernski, Kepala Pasukan Resim Panzer Ke-34 yang saat itu sedang berada di daerah Compiegne. Mendengar hal tersebut, ia pun marah dan tidak dapat menerima pernyataan itu. Untuk membalas hal yang dilakukan oleh Pastor Johann dan Frater Pius, ia memutuskan untuk merusak nama baik mereka dengan membuat propaganda yang mengatakan bahwa mereka adalah “Pembunuh di balik jubah putih”. Selain itu, ia juga mengerahkan polisi rahasia Jerman, Gestapo untuk menangkap mereka. Sejak hal itu, sekarang kedua misionaris itu harus terus bergerak dari satu kota ke yang lain untuk mempersulit pencarian para Gestapo untuk menemukan mereka. Walaupun begitu, mereka tetap melayani umat-umat yang berada di daerah-daerah yang dilewati mereka
Mereka terus berlari sampai pada akhirnya keduanya terjebak dalam baku tembak antara pasukan Jerman dengan pasukan Sekutu yang terjebak di pedalaman Kota Amen. Dengan tidak sengaja, mereka bertemu dengan Kapten Frederick Herl, pemimpin Regu Infantri Ke-57. Mereka tercengang dan kaget ketika menemuinya.
“Apa yang kalian lakukan di sini? Kalian tahu kalau kalian buronan Jerman? Ayo ikut saya, kalian harus keluar dari sini!”, kata Kapten Frederick.
Mereka langsung lari keluar dari daerah baku tembak. Dengan sekuat tenaga, mereka bertiga berusaha menghindari pasukan Jerman lainnya agar tidak tertangkap. Tiba-tiba, sebuah bom meluncur melewati mereka bertiga dan menghantam tembok dan meledak. Pastor Johann dan Kapten Frederick terdorong ke belakang akibat bom tersebut. Frater Pius kaget menoleh ke belakang terdiam dengan mulut ternganga.
“Larilah, kami akan baik-baik saja!”, suruh Pastor Johann kepada Frater Pius.
Frater Pius berbalik dan berlari menjauh kedua orang tersebut yang masih tergeletak di tanah. Tak lama kemudian, beberapa tentara Jerman datang bersama seorang perwira.
“Akhirnya kau menyerah. Tangkap pastor tersebut serta tentara yang telah mengkhianati kita!”, teriak perwira tersebut kepada serdadunya.
Sang pastor dan kapten ditangkap dan dibawa ke kemah konsentrasi di Auschwitz, Polandia. Mereka ditahan dalam sebuah gudang bersama ribuan tahanan lainnya yang salah satunya adalah Maximilian Kolbe, seorang pastor yang dengan sukarela menjalani eksekusi mati tanggal 14 Agustus 1941 dengan disuntikan racun ke tubuhnya demi menggantikan seorang tahanan yang melarikan diri dari kemah konsentrasi Auschwitz. Ia pada akhirnya diberi gelar Santo oleh Paus John Paul II pada tanggal 10 Oktober 1982.
Pada tanggal 17 Agustus 1941, Pastor Johann dan Kapten Frederick Herl dijatuhi hukuman mati. Pada sore hari, tepatnya pukul 6, mereka ditembak mati oleh regu tembak Jerman tepat di depan ruang krematorium dengan disaksikan oleh Letnan Kolonel Paul Libernski yang sangat menginginkan Pastor Johann dibunuh.
Setelah Perang Dunia II usai, Frater Pius keluar dari persembunyiannya di daerah Cannes, Perancis. Ia kembali ke Kota Dresden di mana petualangannya bersama Pastor Johann dimulai. Ia sangat sedih melihat kondisi gedung yang dulu digunakan oleh para pastor dan frater di daerah Dresden untuk berkumpul telah rusak parah. Yang tersisa hanya puing-puing atap dan debu. Ketika masuk, ruangan-ruangan tersebut sudah tidak asing lagi baginya. Setelah melihat sekitar, ia mulai mengingat Pastor Johann. Ia tidak pernah tahu bahwa Pastor Johann telah tiada. Sampai pada tanggal 20 November 1945, ia diundang untuk datang ke salah satu pengadilan militer di Kota Berlin untuk mengikuti sidang sebagai korban kejahatan Letnan Kolonel Paul Libernski selama perang. Ia diberitahu oleh para saksi bahwa Pastor Johann telah meninggal.
Dalam sidang tersebut, ia hanya berkata “Saya tidak ada rasa dendam kepada anda (Paul Libernski), atas pebuatan anda kepada saya dan guru saya, Pastor Johann. Rasa dendam tidak pernah menyelesaikan masalah. Saya telah memaafkan anda, sekarang keputusan di tangan para juri dan hakim saja.”
Pada akhir sidang, hakim dan para juri memutuskan untuk menjatuhkan hukum penjara seumur hidup kepada Paul Libernski.
Tanggal 16 Desember 1945, Frater Pius ditahbiskan menjadi pastor di Gereja Katedral St. Hedwig, Berlin. Ia sempat dipanggil oleh Paus Pius XII untuk datang ke Kota Vatikan pada tanggal 3 Februari 1947 dalam acara doa bersama di Basilika St. Petrus.
Selama hidupnya, ia datang ke tempat-tempat terpencil untuk membantu rakyat miskin dan juga memberi kebahagiaan kepada banyak orang. Pastur Pius meninggal dunia pada tanggal 7 Juli 1986 setelah memberi berkat hosti dan anggur dalam sebuah misa di Gereja St. Anthony di Kota Dresden, Jerman akibat sesak nafas. Dia dikubur di halaman sebuah gedung dalam kondisi telah rusak parah yang sebenarnya adalah Gedung Kepastoran St. Peter, tempat asal Pastor Pius dan Pastor Johann dulu. Di sebelah makamnya adalah makam Pastor Johann dan pastor-pastor lainnya yang berasal dari kepastoran tersebut.